Berita ini dikutip dari TEMPO.CO, Surakarta - wisata kuliner yang ada di Kota Solo, Gladak Langen Bogan (Galabo) kembali dibuka dengan wajah baru. Tidak hanya tampilannya yang dipercantik, para pedagang juga menjanjikan harga yang lebih bersahabat.
Pusat kuliner malam hari itu berada di jalan Mayor Sunaryo, sebelah selatan benteng Vastenburg. Setiap malam, ruas jalan itu menjadi kawasan tertutup untuk kendaraan bermotor.
Galabo dengan tampilan baru itu mulai dibuka pada Kamis malam, 27 Desember 2012. Selama renovasi, pedagang sementara berpindah ke lokasi darurat, tidak jauh dari tempat tersebut.
Sejumlah 57 pedagang kuliner unggulan menyediakan santap malam di Galabo. Di tempat tersebut, pembeli bisa menemukan thengkleng Klewer, gudeg ceker Margoyudan, Bakmi Pak Dul dan sejumlah kuliner legendaris Solo yang lain.
Pusat kuliner malam hari itu berada di jalan Mayor Sunaryo, sebelah selatan benteng Vastenburg. Setiap malam, ruas jalan itu menjadi kawasan tertutup untuk kendaraan bermotor.
Galabo dengan tampilan baru itu mulai dibuka pada Kamis malam, 27 Desember 2012. Selama renovasi, pedagang sementara berpindah ke lokasi darurat, tidak jauh dari tempat tersebut.
Sejumlah 57 pedagang kuliner unggulan menyediakan santap malam di Galabo. Di tempat tersebut, pembeli bisa menemukan thengkleng Klewer, gudeg ceker Margoyudan, Bakmi Pak Dul dan sejumlah kuliner legendaris Solo yang lain.
Galabo dibuka pertama kali pada 2010 lalu. Pada saat itu, sekitar 78 pedagang kuliner unggulan menempati ruas jalan sepanjang 300 meter tersebut. Pada awal dibuka, pusat kuliner itu sangat ramai dikunjungi pembeli.
Lambat laun, kondisi Galabo semakin sepi, terutama saat musim hujan. Sebab payung parasol yang dipasang di meja makan tidak mampu melindungi pembeli dari guyuran hujan. Belum lagi, pembeli sering kapok dengan nota pembayaran yang disodorkan oleh pedagang. Jumlah pedagang akhirnya menyusut hingga tinggal 35 pedagang.
"Sekarang, Galabo tampil dengan wajah baru," kata Kepala UPTD Kawasan Kuliner Kota Surakarta, Agus Sisworiyanto. Yang paling mencolok adalah keberadaan kanopi yang mampu melindungi pembeli dari hujan. Saat siang hari, kanopi itu bisa didorong sehingga tidak mengganggu kendaraan yang lewat.
Tiang-tiang besi yang digunakan juga dibuat dengan cukup rapi. Ornamennya dibuat dengan gaya klasik, menyesuaikan dengan lingkungan heritage di sekitar kawasan tersebut.
Selain itu, pedagang juga wajib untuk mencantumkan daftar harga makanan yang dijualnya. Pedagang juga tidak boleh berebut pembeli. Pedagang juga diharuskan memakai seragam dan celemek agar terlihat lebih profesional.
Pusat jajanan tersebut juga dilengkapi dengan dua panggung permanen. Setiap malam, pengelola akan menghibur para pembeli dengan organ tunggal. "Jika ada kelompok kesenian yang ingin memanfaatkan panggung, kami akan mempersilakan," kata Agus.
Agus juga menjamin para pembeli bisa menikmati makanan dengan nyaman. Pembeli tidak akan terganggu dengan kehadiran pengamen atau pun pengemis.
Salah satu pedagang rawon, Haryati yakin jika kawasan kuliner itu bisa semakin ramai. Sayang, satu pedagang hanya mendapat jatah satu set meja dan kursi, yang hanya bisa menampung lima hingga tujuh pembeli. "Kalau pembeli ramai kami juga justru bingung," katanya.
Sayang, parkir di sekitar kawasan kuliner itu cukup mahal. Pengendara sepeda motor, misalnya, harus merogoh kocek Rp 2 ribu untuk parkir. Karcisnya pun di ragukan keasliannya. Padahal, tarif parkir yang resmi cuma Rp 1.500.
Usai menggunakan toilet, pengunjung juga langsung dikutip Rp 1.000 oleh seorang petugas berseragam. Mereka berdalih kutipan itu diperuntukkan pemeliharaan kebersihan di aset milik pemerintah tersebut.
Agus mengakui adanya kutipan itu. "Tapi yang mengutip bukan kami," katanya. Menurutnya, toilet yang dibangun menggunakan APBD 2012 itu dikelola oleh pihak lain yang telah memperoleh izin dari institusinya.
Masalah parkir, dia juga mengakui bahwa tarif resmi cuma Rp 1.500 untuk sepeda motor. Dia juga mengaku tahu bahwa sebagian pengelola parkir menaikkan tarif. "Kalau cuma naik Rp 500 kan wajar, soalnya ini sudah jadi kawasan wisata" katanya.
Salah satu pedagang rawon, Haryati yakin jika kawasan kuliner itu bisa semakin ramai. Sayang, satu pedagang hanya mendapat jatah satu set meja dan kursi, yang hanya bisa menampung lima hingga tujuh pembeli. "Kalau pembeli ramai kami juga justru bingung," katanya.
Sayang, parkir di sekitar kawasan kuliner itu cukup mahal. Pengendara sepeda motor, misalnya, harus merogoh kocek Rp 2 ribu untuk parkir. Karcisnya pun di ragukan keasliannya. Padahal, tarif parkir yang resmi cuma Rp 1.500.
Usai menggunakan toilet, pengunjung juga langsung dikutip Rp 1.000 oleh seorang petugas berseragam. Mereka berdalih kutipan itu diperuntukkan pemeliharaan kebersihan di aset milik pemerintah tersebut.
Agus mengakui adanya kutipan itu. "Tapi yang mengutip bukan kami," katanya. Menurutnya, toilet yang dibangun menggunakan APBD 2012 itu dikelola oleh pihak lain yang telah memperoleh izin dari institusinya.
Masalah parkir, dia juga mengakui bahwa tarif resmi cuma Rp 1.500 untuk sepeda motor. Dia juga mengaku tahu bahwa sebagian pengelola parkir menaikkan tarif. "Kalau cuma naik Rp 500 kan wajar, soalnya ini sudah jadi kawasan wisata" katanya.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment