Museum ini merupakan buah pikiran dan kerja dari konsorsium advokasi Hak Azasi Manusia yaitu gabungan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat Aceh yang terdiri dari Koalisi NGO-HAM, Kontras Aceh, LBH Aceh, dan Komunitas Tikar Pandan, dengan dukungan ICTJ. Museum ini bertempat di salah satu bagian dari kantong kebudayaan Episentrum Ulee Kareng yang telah terlebih dahulu dikenal publik sebagai tempat diskusi, peluncuran buku, belajar menulis/sastra/etnografi, pemutaran film, galeri seni rupa, dan tempat pementasan seni. Lihat juga "Wisata Taman Mini Indonesia Indah "
Peresmian Museum yang terletak di Desa Lamreueng, Ulee Kareeng, Banda Aceh dilakukan Rabu (23/03) malam. Peresmian diikuti dengan serangkaian acara, seperti pemutaran film dokumenter dan pameran foto-foto pelanggaran HAM di Aceh.
Direktur Museum HAM Aceh Reza Idria, mengatakan pembentukan museum itu digagas bersama Komisi untuk Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, International Centre for Transitional Justice (ICTJ), komunitas seniman Tikar Pandan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh. “Ini bukan untuk membuka luka lama, melainkan tekad untuk tidak melupakan apa yang pernah terjadi. Hanya pengingat dan mengenang,” ujarnya.
Sebagai tempat pembelajaran, Museum HAM Aceh percaya pada pendekatan pedagogi kultural yakni dengan memberi informasi ke publik melalui medium yang populer dan bersifat mendidik. Meredam berkembangnya budaya kekerasan membuat Museum HAM Aceh memilih tidak mengedepankan visualisasi kekerasan. Museum HAM Aceh menggelar serial workshop, pameran, diskusi dan pemutaran film dengan tema yang relevan sebagai agenda berkala. Keterbatasan ruang yang dimiliki disiasati dengan memaksimalkan medium virtual. Data sejarah dan kronologi peristiwa masa lalu di Aceh sebagai bahan studi bisa diakses di situs www.museumhamaceh.org, baik dari sumber pemberitaan media massa maupun sumber yang telah diverifikasi oleh anggota konsorsium Museum HAM Aceh.
Peresmian Museum yang terletak di Desa Lamreueng, Ulee Kareeng, Banda Aceh dilakukan Rabu (23/03) malam. Peresmian diikuti dengan serangkaian acara, seperti pemutaran film dokumenter dan pameran foto-foto pelanggaran HAM di Aceh.
Direktur Museum HAM Aceh Reza Idria, mengatakan pembentukan museum itu digagas bersama Komisi untuk Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, International Centre for Transitional Justice (ICTJ), komunitas seniman Tikar Pandan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh. “Ini bukan untuk membuka luka lama, melainkan tekad untuk tidak melupakan apa yang pernah terjadi. Hanya pengingat dan mengenang,” ujarnya.
Sebagai tempat pembelajaran, Museum HAM Aceh percaya pada pendekatan pedagogi kultural yakni dengan memberi informasi ke publik melalui medium yang populer dan bersifat mendidik. Meredam berkembangnya budaya kekerasan membuat Museum HAM Aceh memilih tidak mengedepankan visualisasi kekerasan. Museum HAM Aceh menggelar serial workshop, pameran, diskusi dan pemutaran film dengan tema yang relevan sebagai agenda berkala. Keterbatasan ruang yang dimiliki disiasati dengan memaksimalkan medium virtual. Data sejarah dan kronologi peristiwa masa lalu di Aceh sebagai bahan studi bisa diakses di situs www.museumhamaceh.org, baik dari sumber pemberitaan media massa maupun sumber yang telah diverifikasi oleh anggota konsorsium Museum HAM Aceh.
Museum HAM Aceh ada sebagai pesan dan pendekatan terhadap berbagai pihak agar senantiasa mengawal berkah perdamaian yang sudah kita raih bersama.
Tidak mengubur sejarah dan kesalahan masa lalu adalah langkah awal untuk kita belajar menuju peradaban yang besar. Mengungkap kebenaran dan saling memaafkan merupakan syarat untuk kita mampu menyatukan cara pandang: membangun Aceh yang damai dan bermartabat.
Tidak mengubur sejarah dan kesalahan masa lalu adalah langkah awal untuk kita belajar menuju peradaban yang besar. Mengungkap kebenaran dan saling memaafkan merupakan syarat untuk kita mampu menyatukan cara pandang: membangun Aceh yang damai dan bermartabat.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment